Mengapa Indonesia Belum Mampu
Menghasilkan Para Ilmuwan Indonesia Dan Belum Bebas Dari Ketergantungan
Intelektual?
Secara sosiologis dan antropologis,
epistemology Pancasila terhambat dalam pendidikan keilmuan. Hambatan tersebut
berasal dari dalam dan luar masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Hambatan dari
luar antara lain berupa:
Hambatan
yang datang dari dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia antara lain :
Lembaga pendidikan di Indonesia masih belum mampu
mengajarkan anak untuk berfikir secara rasional. Metode mengajar yang
konvensional dan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam sistem pendidikan
yang “keliru” lebih memperparah kondisi pendidikan di Indonesia.
a. Banyaknya berbagai cabang ilmu terapan yang
dihasilkan oleh masyarakat industri, suatu ilmu praktis yang siap pakai, mudah,
murah, cepat, untuk pemecahan masalah menyebabkan orang “malas berfikir”,
dengan akibat ketergantungan intelektual.
b. Makin mudah dan murahnya buku
keilmuan yang tertulis dalam bahasa asing, menyebabkan warga masyarakat
terbelah kepentingannya
c. Makin menumpuknya buku keilmuan
yang tertulis dalam bahasa asing dan makin banyaknya kebutuhan
menggunakan ilmu terapan dan mempelajarinya sebagai dalaih mengejar
ketinggalan, yang terperangkap pada ketergantungan intelektual.
a. Tidak adanya kesadaran bahwa
IPTEK muncul untuk memecahkan masalah dalam masyarakat.
b. Ketiadaan kesadaran tersebut
diperkuat dengan adat kebiasaan masyarakat yang menggunakan kebudayaan lisan.
c. Sekolah tidak dipandang sebagai
kebutuhan visual pendidikan bagi tiap orang
d. Ketidaktahuan tentang filsafat
pancasila
e. Kesalah mengertian tentang
pendidikan keilmuan di lembaga sekolah yang berwujud memandang ilmu sebagai
kumpulan pengetahuan sistematis, dengan wujud kegiatan guru terbiasa dengan
ceramah
f. Ketidak mengertian
tentang ilmu pengetahuan sebagai sistem yang mengedepankan tindak berfikir
rasional (Moh.Dimyati, 2002)
Kenyataan yang ada saat ini, masih banyak pendidik
yang melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya
belum menguasai teknologi informasi seperti komputer dan internet. Tanpa desain
pendidikan yang jelas dan kecenderungan mengikuti sistem pendidikan asing akan
membawa bangsa ini kehilangan jati diri dalam berbudaya, berbangsa dan
bernegara dbeberapa tahun ke depan. Dunia akan melihat pada originalitas sistem
pendidikan kita, bukan keberhasilan kita meniru sistem pendidikan negara
lain. Teknologi Informasi dan Komunikasi belum dimanfaatkan secara
maksimal. Sekolah yang belum memiliki teknologi internet masih terbilang
tinggi. Bahkan bagi sekolah yang telah memiliki internet pemanfaatan teknologi
di atas belum dilakukan secara optimal sehingga kebermanfaatan bagi
pembelajaran belum dirasakan baik oleh pendidik maupun peserta didik. Kurang
optimalnya pemanfaatan teknologi tersebut disebabkan oleh berbagai macam
faktor, salah satu alasan yang sering ditemukan adalah kurangnya
kemampuan pendidik dalam bidang teknologi.
Terkadang kita salah kaprah dimana bangga dan merasa
berhasil setelah studi banding kemudian mengadopsi banyak pemikiran orang atau
instansi asing. Contoh kecil semakin maraknya organisasi-organisasi kursus
belajar atau bimbingan belajar menunjukkan kelemahan sistem pendidikan suatu
negara. Sebagai contoh, saat ini sudah banyak siswa sekolah dasar terutama
kelas rendah yang bergantung pada sistem pendidikan di luar jam sekolah.
Padahal pelajaran-pelajaran untuk anak usia sekolah dasar khususnya kelas rendah
seharusnya dapat diatasi dengan bimbingan orang tua di rumah. Dengan demikian
negara memberikan masalah (problem) pendidikan lewat sistem pendidikan
terstrukturnya, dan organisasi bimbingan belajar menjadi problem solvernya.
Hal ini lebih diperburuk dengan diajarkannya
teknik-teknik jalan pintas untuk mendapatkan hasil akhir saja, sehingga banyak
murid bangga kepada temannya bila bisa melakukan hal tersebut. Tetapi patut
disayangkan karena mereka telah kehilangan waktu untuk mendapatkan pengetahuan
dasar berupa proses dan analisa terhadap fenomena alam yang harus dipelajarinya
dengan matang di usia balita dan remajanya.
Jika kita sudah mendapatkan kemampuan analisa dan
berfikir rasional di Indonesia pada saat umur 7-8 tahunan atau masa-masa masuk
Sekolah Dasar, bangsa Indonesia tidak mustahil untuk menempati urutan tinggi
terhadap kontribusi ilmu pengetahuan dan teknologi dunia. Dan bukan suatu
angan lagi untuk menghasilkan para ilmuwan Indonesia dan menghilangkan
“ketergantungan intelektual”.
Sikap “malas berfikir” dan “ketergantungan intelektual”
yang nampak jelas dalam masyarakat Indonesia makin mempersulit Indonesia dalam
menghasilkan ilmuwan-ilmuwan yang mampu bersaing di dunia internasional.
Guru yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan
hendaknya mampu menjadi figur keteladanan spiritual di hadapan peserta didik.
Guru hendaknya juga mampu “menanggalkan” jiwa yang kasar dalam mendidik. Sikap
pendidik harus demokratis, lebih mawas diri, yang otomatis akan menular ke jiwa
anak didik. Mungkin sudah saatnya
untuk kita pertimbangkan sistem pembelajaran di sekolah dengan memberi porsi
besar untuk pelajaran logika dan sistem berfikir objektif dan rasional. Sudah
waktunya merubah sistem pengajaran dengan mengajak anak didik keluar kelas dan
langsung mengamati dan mempelajari sekitar luar sekolah sesuai dengan subjek
pelajaran atau bangsa ini akan makin tidak bisa meneliti dan mencipta.
Bagi calon pendidik/guru SD, marilah menyadarkan
diri bukan menyandarkan diri lebih dulu. Masih banyak PR yang seharusnya kita
selesaikan tidak hanya sendiri, namun harus bersama-sama. Jangan karena kita
menganggap bahwa cita-cita sebagai guru merupakan satu lapangan pekerjaan
yang berorientasi kepada materi sehingga kita lupa bahwa guru mengajar sebagai
sebuah pengabdian atau ibadah. Jika mengajar adalah sebuah pekerjaan yang
berorientasi pada materi saja, masih adakah "Pahlawan tanpa tanda
jasa"?