teks berjalan

Selamat Datang di Blog Saya...!!! Semoga bermanfaat ya ^_^

Sabtu, 03 Maret 2012

Ketergantungan Intelektual

     Mengapa  Indonesia Belum Mampu Menghasilkan Para Ilmuwan Indonesia Dan Belum Bebas Dari Ketergantungan Intelektual?

Secara sosiologis dan antropologis, epistemology Pancasila terhambat dalam pendidikan keilmuan. Hambatan tersebut berasal dari dalam dan luar masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Hambatan dari luar antara lain berupa:
a.    Banyaknya berbagai cabang ilmu terapan yang dihasilkan oleh masyarakat industri, suatu ilmu praktis yang siap pakai, mudah, murah, cepat, untuk pemecahan masalah menyebabkan orang “malas berfikir”, dengan akibat ketergantungan intelektual.
b.    Makin mudah dan murahnya buku keilmuan yang tertulis dalam bahasa asing, menyebabkan warga masyarakat terbelah kepentingannya
c.    Makin menumpuknya buku keilmuan yang tertulis dalam bahasa asing dan makin banyaknya  kebutuhan menggunakan ilmu terapan dan mempelajarinya sebagai dalaih mengejar ketinggalan, yang terperangkap pada ketergantungan intelektual.

 Hambatan yang datang dari dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia antara lain :
a.    Tidak adanya kesadaran bahwa IPTEK muncul untuk memecahkan masalah dalam masyarakat.
b.    Ketiadaan kesadaran tersebut diperkuat dengan adat kebiasaan masyarakat yang menggunakan kebudayaan lisan.
c.    Sekolah tidak dipandang sebagai kebutuhan visual pendidikan bagi tiap orang
d.   Ketidaktahuan tentang filsafat pancasila
e.    Kesalah mengertian tentang pendidikan keilmuan di lembaga sekolah yang berwujud memandang ilmu sebagai kumpulan pengetahuan sistematis, dengan wujud kegiatan guru terbiasa dengan ceramah
f.      Ketidak mengertian tentang ilmu pengetahuan sebagai sistem yang mengedepankan tindak berfikir rasional (Moh.Dimyati, 2002)
Kenyataan yang ada saat ini, masih banyak  pendidik  yang melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya belum menguasai teknologi informasi seperti komputer dan internet. Tanpa desain pendidikan yang jelas dan kecenderungan mengikuti sistem pendidikan asing akan membawa bangsa ini kehilangan jati diri dalam berbudaya, berbangsa dan bernegara dbeberapa tahun ke depan. Dunia akan melihat pada originalitas sistem pendidikan kita, bukan keberhasilan kita meniru sistem pendidikan negara lain. Teknologi Informasi dan Komunikasi belum dimanfaatkan secara maksimal. Sekolah yang belum memiliki teknologi internet masih terbilang tinggi. Bahkan bagi sekolah yang telah memiliki internet pemanfaatan teknologi di atas belum dilakukan secara optimal sehingga kebermanfaatan bagi pembelajaran belum dirasakan baik oleh pendidik maupun peserta didik. Kurang optimalnya pemanfaatan teknologi tersebut disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satu alasan yang sering ditemukan adalah kurangnya  kemampuan pendidik dalam bidang teknologi.
Terkadang kita salah kaprah dimana bangga dan merasa berhasil setelah studi banding kemudian mengadopsi banyak pemikiran orang atau instansi asing. Contoh kecil semakin maraknya organisasi-organisasi kursus belajar atau bimbingan belajar menunjukkan kelemahan sistem pendidikan suatu negara. Sebagai contoh, saat ini sudah banyak siswa sekolah dasar terutama kelas rendah yang bergantung pada sistem pendidikan di luar jam sekolah. Padahal pelajaran-pelajaran untuk anak usia sekolah dasar khususnya kelas rendah seharusnya dapat diatasi dengan bimbingan orang tua di rumah. Dengan demikian negara memberikan masalah (problem) pendidikan lewat sistem pendidikan terstrukturnya, dan organisasi bimbingan belajar menjadi problem solvernya. 
Hal ini lebih diperburuk dengan diajarkannya teknik-teknik jalan pintas untuk mendapatkan hasil akhir saja, sehingga banyak murid bangga kepada temannya bila bisa melakukan hal tersebut. Tetapi patut disayangkan karena mereka telah kehilangan waktu untuk mendapatkan pengetahuan dasar berupa proses dan analisa terhadap fenomena alam yang harus dipelajarinya dengan matang di usia balita dan remajanya.
Jika kita sudah mendapatkan kemampuan analisa dan berfikir rasional di Indonesia pada saat umur 7-8 tahunan atau masa-masa masuk Sekolah Dasar, bangsa Indonesia tidak mustahil untuk menempati urutan tinggi terhadap kontribusi ilmu pengetahuan dan teknologi dunia. Dan bukan suatu angan lagi untuk menghasilkan para ilmuwan Indonesia dan menghilangkan “ketergantungan intelektual”.

 Lembaga pendidikan di Indonesia masih belum mampu mengajarkan anak untuk berfikir secara rasional. Metode mengajar yang konvensional dan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam sistem pendidikan yang “keliru” lebih memperparah kondisi pendidikan di Indonesia.
Sikap “malas berfikir” dan “ketergantungan intelektual” yang nampak jelas dalam masyarakat Indonesia makin mempersulit Indonesia dalam menghasilkan ilmuwan-ilmuwan yang mampu bersaing di dunia internasional.
Guru yang berada di garda depan dalam dunia pendidikan hendaknya mampu menjadi figur keteladanan spiritual di hadapan peserta didik. Guru hendaknya juga mampu “menanggalkan” jiwa yang kasar dalam mendidik. Sikap pendidik harus demokratis, lebih mawas diri, yang otomatis akan menular ke jiwa anak didik. Mungkin sudah saatnya untuk kita pertimbangkan sistem pembelajaran di sekolah dengan memberi porsi besar untuk pelajaran logika dan sistem berfikir objektif dan rasional. Sudah waktunya merubah sistem pengajaran dengan mengajak anak didik keluar kelas dan langsung mengamati dan mempelajari sekitar luar sekolah sesuai dengan subjek pelajaran atau bangsa ini akan makin tidak bisa meneliti dan mencipta.

Bagi calon pendidik/guru SD, marilah  menyadarkan diri bukan menyandarkan diri lebih dulu. Masih banyak PR yang seharusnya kita selesaikan tidak hanya sendiri, namun harus bersama-sama. Jangan karena kita menganggap bahwa cita-cita sebagai guru merupakan satu lapangan pekerjaan yang berorientasi kepada materi sehingga kita lupa bahwa guru mengajar sebagai sebuah pengabdian atau ibadah. Jika mengajar adalah sebuah pekerjaan yang berorientasi pada materi saja, masih adakah "Pahlawan tanpa tanda jasa"?

Peran Pendidikan dalam Membangun Karakter Bangsa


Pendidikan merupakan alat utama yang berfungsi untuk membentuk dan membangun karakter bangsa. Saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis multi dimensi, sesuai fungsinya maka pendidikan merupakan objek yang harus ditinjau kembali. Karena rapuhnya karakter suatu bangsa, pastilah diawali dan disebabkan oleh rapuhnya pendidikan karakter di bangku-bangku akademik.
Pendidikan, di samping untuk mengembangkan daya nalar kritis-kognitif, juga merupakan upaya berkelanjutan untuk membangun dan membentuk karakter. Penanaman nilai-nilai akhlak, moral dan budi pekerti sebagaimana tertuang dalam undang-undang pendidikan nasional Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 harus menjadi dasar utama dalam pola pelaksanaan dan evaluasi sistem pendidikan nasional.
"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berilmu, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." (pasal 3 UU. Sisdiknas thn. 2003).
Tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertera pada undang-undang, secara jelas telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam menopang karakter dan jati diri bangsa. Tetapi dalam penyelenggaraannya telah mengalami degradasi, yaitu terkikisnya nilai-nilai kearifan lokal oleh kuatnya arus pendidikan global, kecerdasan kognitif menjadi ukuran yang lebih dominan untuk menentukan keberhasilan dalam menempuh pendidikan. Akibatnya, tata krama, etika dan moral generasi bangsa tereduksi dalam sebuah nilai-nilai sempit cognitive oriented.
Pendidikan tidak hanya ditempuh secara formal, namun juga nonformal dan informal. Ketiga jalur pendidikan ini memiliki peran penting dalam pembentukan karakter bangsa. Karena pendidikan adalah proses yang sistemik, tidak mungkin keberhasilan pendidikan diraih maksimal, tanpa kerjasama dan keterlibatan semua pihak.
Ø  Pendidikan formal
Sekolah berperan penting dalam menanamkan dan membekali nilai-nilai bagi seorang anak. Di sekolah para anak berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman dan guru-gurunya.  Sekolah, merupakan laboratorium sosial bagi anak.  Bahkan anak-anak lebih menyerap nilai-nilai dari teman sebayanya, dari orangtuanya, ketika orangtua tidak dapat mendekati anak-anaknya dengan pendekatan yang tepat.
Sekolah harus berperan sebagai pembangun karakter (character builder), dan tidak hanya sekedar menyebar pengetahuan (transfer of knowledge).  Sekolah bukanlah semata-mata persiapan anak di masa depan, tetapi sekolah harus dijadikan kehidupan itu sendiri, jadi pada saat di sekolahlah  penanaman nilai-nilai harus secara efektif dijalankan melalui kegiatan pembelajaran di dalam kelas maupun diluar kelas sehingga proses pendidikan dan pembudayaan berjalan dengan beriringan.
Metode pembelajaran yang digunakan umumnya disebut sebagai pendidikan moral, yang terintegrasi ke dalam dua mata pelajaran, yakni Pendidikan  kewarganegaraan (PKn) dan pendidikan agama. Namun, dalam praktiknya terasa masih tampak kurang pada keterpaduan model dan strategi pembelajarannya. Siswa lebih diorientasikan pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu upaya untuk memperbaiki pola pembelajaran terutama dari konvensional ke pembelajaran kontekstual.
Ø  Pendidikan nonformal
Pendidikan dapat pula ditumbuhkembangkan di luar pendidikan formal, yang memfungsikan peran-peran sosial dari masyarakat, dan agamawan. Hal itu sejalan dengan model pembelajaran tempo dulu di masa-masa awal digalakkannya pendidikan di Tanah Air.
Pendidikan di masa lampau umumnya belum memerlukan pendidikan dalam arti formalisme pendidikan yang mendorong tumbuhnya kompetisi kecerdasan satu sama lain, tetapi yang menjadi pusat dan syarat pendidikan ialah berupa kesejahteraan rumah tangga, atau dengan kata lain, pendidikan berpusat pada kesejahteraan dan keutuhan hidup bersama antara ibu dan bapak. Telah menjadi adat kebiasaan yang turun-temurun bahwa di pundak ibu dan bapaklah tanggung jawab atas segala hal ihwal kehidupan anaknya. Dengan kebiasaan itu, para ibu dan bapak merasa harus bertindak sebagai contoh (kaca benggala) untuk anak cucu dan keturunan mereka selanjutnya.
Ø  Pendidikan informal
Keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama.  Dalam lingkungan keluargalah seorang anak pertama kali mendapatkan bekal berupa nilai-nilai tentang baik dan buruk dalam kehidupan.  Orangtua sangat berperan penting dalam menanamkan nilai-nilai dasar bagi bangunan budi pekerti, etika dan moralitas anak kelak dalam kehidupannya.  Keluarga merupakan salah satu pilar penting bangsa dalam membangun warga negara yang berkualitas dan berintegritas.
Seorang anak yang cukup mendapatkan kasih sayang dan bekal nilai yang cukup di rumah maka akan tenang, nyaman dan mantap secara nilai di luar rumah.  Tetapi ketika di rumah tidak mendapatkan apa yang dibutuhkannya, di luar rumah akan menyerap apapun yang didapatkannya , yang menjadi permasalahan adalah, ketika nilai-nilai yang ada di luar sangat merusak jiwanya bahkan kehidupannya.
Perhatian yang cukup dan kasih sayang yang intens serta suasana yang dialogis antara anak dan orangtua adalah salah satu upaya yang efektif, untuk menjadikan para anak lebih percaya pada orangtua dan keluarganya.  Perlu dibangun rasa saling percaya antara seluruh anggota keluarga sehingga merasa nyaman dan dihargai.
Pendidikan baik formal, nonformal maupun informal, tetap masih dibutuhkan, yang justru kita berharap terjadi simbiosis mutualistis, saling dukung di antara ketiganya. Dengan menegakkan pendidikan yang berkarakter, kita optimistis kualitas pendidikan nasional kita kian lebih baik, yang salah satunya ditandai dengan berkurangnya angka kriminalitas, kasus korupsi, dan perbuatan asusila.