Di sebuah Kampung Sunggih yang terletak di hulu Sungai Mahakam daerah Kutai, tinggalah seorang bapak bernama Pak Kattong dengan anak perempuannya bernama Maya. Ibunya, telah meninggal dunia sejak Maya berusia 10 tahun.
Pak Kattong memenuhi kebutuhan hidup dengan berladang, mencari ikan, dan menjual air di gunung dan disalurkannya dengan bambu panjang sampai di depan rumah. Air gunung itu sangat jernih sehingga banyak orang membeli air Pak Kattong atau menukarnya dengan hasil ladang mereka. Maya, anak Pak Kattong sering membantu ayahnya di rumah.
Kini Maya berusia 17 yahun dan memiliki paras yang cantik, dengan badan tinggi semampai. Oleh karena kecantikannya, ia diberi gelar kembang Kampung Sunggih. Berita kecantikan Maya tersebar luas ke seluruh kampung, bahkan sampai ke kampung-kampung lain.
Pada suatu ketika Kampung Sunggih dan kampung-kampung lain, dilanda musim panas yang panjang. Karena panas yang panjang itu, semua tanaman mati dan air sungai menjadi dangkal. Bahkan, Danau Kedang Murung tempat orang memancing ikan pun kering. Semua benih yang ditanam tidak ada yang tumbuh.
Penduduk sibuk mencari air, tetapi Pak Kattong tidak perlu sibuk mencari air yang bersumber dari gunung itu tidak pernah kering.
Oleh karena itu, pendduk Kampung Sunggih mengambila air dari pancuran Pak Kattong. Pak Kattong dan Maya tidak keberatan jika penduduk mengambil air dari pancuran mereka.
Dari sekian banyak orang yang mengambil air, salah satu di antaranya adalah seorang kepala adat yang bernama Pak Usen. Ia seorang kepala adat di kampung Betcit. Pak Usen dikanal sebagai orang berilmu tinggi, memiliki kesaktian , dan jago silat. Jika ia sedang marah, segala sesuatu yang dilihatnya akan berubah menjadi batu. Pak Usen sangat sakti sehingga penduduk Kampung Betcit taat kepadanya.
Pada suatu pagi, banyak penduduk Kampung Betcit berduyun-duyun menuju pancuran Pak Kattong. Ketika mereka asyik mengambil air, turunlah Maya dari rumah untuk mengambil daun pisang di halaman rumah. Semua orang yang sedang mengambil air terkagum-kagum melihat wajah Maya yang sangat cantik. Tubuh semampai, rambut ikal, dan kulit kuning menambah kecantikan Maya.
Cerita tentang kecantikan Maya cepat menyebar dan terdengar pula oleh Pak Usen. Ia pun tertarik dengan cerita itu dan bermaksud melihat kecantikan Maya.
Malam harinya, Pak Usen memikirkan bagaimana caranya pergi ke Kampung Sunggih. Ia akan memutuskan berangakat sendiri dan berlaku sebagai pembeli air.
Keesokan harinya, Pak Usen ditemani pembantunya menuju Kampung Sunggih hendak membeli air minum di rumah Pak kattong.
Setelah menyampaikan maksud kedatangannya kepada Pak Kattong, Pak Usen pun diajak ke pancuran air. Pak usen pn mengisi buluh air pada pancuran itu.
Tidak berapa lama, Maya keluar untuk menjemur pakaian. Ketika Pak Usen melihat Maya, terlepaslah buluh bambu yang sudah penuh air itu dari tangannya. Air itu tumpah ke tanah, tetapi tak dihiraukannya. Matanya tak lepas memandang Maya, gadis yang menjadi kembang Kampung Sunggih.
Pak Usen benar-benar terpesona melihat kecantikan Maya. Sesampai di rumah, wajah Maya selalu terbayang di matanya.
Esok harinya, ia memutuskan untuk pergi lagi ke Kampung Sunggih dengan alasan membeli air. Pak Kattong dan Maya tidak sedikitpun merasakan ada tingkah yang aneh pada diri Pak Usen.
Demikianlah hal itu dilakukan Pak Usen dan pembantunya selama seminggu. Akhirnya, Pak Usen memutuskan untuk mengirim utusan meminang anak Pak Kattong.
Berangkatlah utusan Pak Usen ke rumah Pak Kattong di Kampung Sunggih. Sayang, niat mereka tidak terpenuhi karena Maya belum ingin berumah tangga.
Setelah mendengar penjelasan dari utusannya, Pak Usen marah sekali. Meskipun masih dapat mengendalikan diri. Beberapa hari kemudian, Pak Usen tetap menyuruh utusannya untuk melamar anak Pak Kattong lagi. Jawaban Pak Kattong sama dengan jawaban pertama.
Penolakan kali ini menyebabkan Pak Usen tidak dapat menahan marah. Ia mengatakan kepada pengikut-pengikutnya supaya besok pagi mereka siap karena ia sendiri yang akan datang melamar.
Keesokan harinya, dengan pakaian lengkap sebagai kepala adat, Pak Usen memimpin rombongan menuju rumah Pak kattong di Kampung Sunggih. Pak Usen menjelaskan kepada Pak Kattong bahwa kali ini ia sendiri yang datang melamar. Akan tetapi, jawaban Pak kattong tidak berubah. Pak Usen marah mendengar lamarannya ditolak. Ia bangkit dan langsung menuju ke kamar Maya. Ia memegang tangan Maya dan menariknya ke pancuran.
Pak Kattong terkejut, tetapi ia tidak mampu berbuat apa-apa. Sesampai di pancuran, badan Maya tidak dapat bergerak lagi. Badannya berubah menjadi batu. Demikian pula badan Pak Usen. Dalam sekejap mata, tubuh keduanya bersatu menjadi batu.
Bersamaan dengan kejadian itu, turunlah hujan lebat disertai tiupan angin yang sangat kencang. Karena hujan lebat, aliran pancuran makin deras. Aliran air itu memancar bagai anak sumpitan mengenai tubuh Maya dan Pak Usen yang telah membantu.
Penduduk yang menyaksikan peristiwa ini mengatakan bahwa batu besar itu kena sumpit. Dari kata “tersumpit” inilah muncul kata “trumpit”. Hingga sekarang orang menyebutnya batu trumpit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar